Pertama kali aku mendengar bahwa menggunakan parfum untuk perempuan ketika bepergian itu adalah haram, yaitu di salah acara di TV swasta. setelah itu aku langsung browsing ke internet. di dalam forum yang saya ikuti. saya mencari kebenaran hukum tersebut. dan terbukti. inilah yang saya dapat dari forum tersebut.
HUKUM MEMAKAI MINYAK WANGI DAN BERHIAS UNTUK PEREMPUAN
Ketahuilah
bahwa keluarnya seorang perempuan dalam keadaan berhias atau memakai
minyak wangi dengan keadaan menutup aurat hukumnya makruh tanzih, tidak
haram. Hal itu menjadi haram jika perempuan tersebut bertujuan untuk
pamer (mendapatk an pandangan mata) dari kaum laki-laki; artinya bertujuan membuat fitnah terhadap mereka.
Ibnu Hibban[58] , al-Hakim[5 9], an-Nasa’i[ 60], al-Baihaqi [61] meriwayatk an dalam bab kemakruhan kaum perempuan untuk memakai minyak wangi, juga diriwayatk an oleh Abu Dawud[62] dari Abi Musa al-‘Asy’ar i dengan marfu’ kepada Rasulullah , ia bersabda:
أيما امرأة استعطرت فمرت على قوم ليجدوا ريحها فهي زانية
(Perempuan manapun memakai wewangian kemudian lewat pada suatu kaum (laki-laki ) agara mereka mendapati baunya maka ia seorang pelaku zina).
At-Tirmidz i[63] dalam bab tetang kemakruhan keluar perempuan dengan memakai wewangian, juga dari hadits Abi Musa al-‘Asy’ar i dengan marfu’ kepada Rasulullah , ia bersabda:
كل عين زانية، والمرأة إذا استعطرت فمرت بالمجلس فهي كذا وكذا
(Setiap [kebanyaka n]
mata melakukan zina, dan perempuan jika ia memakai wewangian kemudian
lewat di suatu majelis maka ia yang begini dan begini). Artinya ia seorang pelaku zina.
Hadits terakhir di atas dalam pengertian umum (Muthlaq), sementara hadits yang pertama dengan lafazh [ليجدوا ريحها] dalam pengertian yang dikhususka n (Muqayyad). Tujuan kedua hadits adalah sama. Karena itu maka pengertian yang umum (Mutlaq) harus dipahami dengan mengaitkan nya dengan pengertian yang khusus (Muqayyad), sebagai mana kaedah ini telah menjadi keharusan dengan kesepakata n (Ijma’) mayoritas ulama, supaya kita terhindar dari konfrontas i dengan kesepakata n (Ijma’) mayoritas ulama tersebut. Karena itu tidak ada seorangpun dari para ulama yang menyatakan haram secara mutlak bagi seorang perempuan keluar rumah dengan memakai wewangian. Pemahaman semacam ini sesuai dengan hadits ‘Aisyah yang diriwayatk an Abu Dawud dalam Sunan-nya, bahwa ia berkata[64 ]: “Kita [Isteri-is teri
nabi] keluar bersama nabi menuju Mekah, dan kita melumuri wajah dengan
misik wangi untuk ihram. Jika salah seorang dari kami berkeringa t, air keringatny a mengalir di atas wajahnya [membentuk guratan-gu ratan], dan nabi tidak mencegah”. Padahal Rasulullah dan isteri-ist erinya berpakian ihram dari Dzil Hulaifah; suatu tempat beberapa mil dari Madinah.
Hadits pertama di atas diriwayatk an oleh an-Nasa’i dan al-Baihaqi dalam suatu bab yang keduanya menamakan bab tersebut dengan “Bab makruh bagi perempuan untuk memakai wewangian” .
Bab tersebut dinamakan demikian karena keduanya paham bahwa hukum
perempuan memakai minyak wangi adalah makruh tanzih. Lafazh makruh jika
diungkapka n secara mutlak maka yang dimaksud adalah makruh tanzih, sebagaiman a dinyatakan para ulama madzhab Syafi’i. Syaikh Ahmad ibn Ruslan berkata[65 ]:
وفاعل المكروه لم يعذب # بل إ ن يكف لامتثال يثب
(Seorang pelaku perbuatan makruh tidak disiksa, tetapi bila ia tidak melakukan perbuatan tersebut karena tujuan melaksanak an syari’at, ia diberi pahala).
Sebagaiman diketahuai al-Baihaqi
adalah salah seorang ulama besar madzhab Syafi’i. Pemahaman mazdhab
Syafi’i ini juga diambil oleh madzhab Hanbali dan Maliki. Artinya semua
madzhab menyatakan
bahwa lafazh “makruh” jika disebut secara mutlak maka yang dimaksud
adalah “makruh tanzih”. Adapaun dalam madzhab Hanafi, umumnya
penyebutan tersebut untuk tujuan “makruh tahrim”; artinya pelaku perbuatan tersebut telah berdosa.
Dengan demikian, orang yang mengharamk an keluarnya perempuan dengan wewangian,
akan bersikap apa terhadap hadits ‘Aisyah di atas yang merupakan
hadits shahih, karena tidak ada seorang ahli haditspun (al-hafizh ) yang menyatakan
hadits tersebut dla’if ?!. Adapun penyataan sikap dari seorang yang
bukan ahli hadits tentu saja tidak ada gunanya, karena itu tidak
memberikan pengaruh (sebagaima na disebutkan dalam kitab-kita b Musthalah al-Hadits).
Adapun hadits yang diriwayatk an oleh Ibnu Khuzaimah, bahwa suatu ketika seorang perempuan lewat di hadapan Abu Hurairah yang wewangiann ya
dirasakan oleh beliau, ia bertanya: “Handak kemanakah engkau wahai
hamba Tuhan yang maha perkasa?, perempuan tersebut menjawab: “Ke
masjid”. Abu Hurairah berkata: “Adakah engkau memakai wewangian untuk
itu?”. Ia menjawab: “Iya”. Abu Hurairah berkata: “Kembalila h engkau pulang dan mandilah, sesungguhn ya saya mendengar Rasulullah bersabda: “Allah tidak menerima shalat seorang perempuan yang keluar menuju masjid sementara wewangiann ya menyebar semerbak hingga ia pulang kembali dan mandi”. Hadits ini tidak dinyatakan shahih oleh seorang hafizhpun. Bahkan Ibnu Khuzaimah yang meriwayatk annya berkata: “Jika hadits ini shahih”. [artinya menurut beliau hadits ini tidak shahih].
Dengan demikian hadits ini tidak dapat dijadikan sandaran hukum. Yang menjadi sandaran hukum dalam hal ini adalah hadits ‘Aisyah sebelumnya di atas, karena hadits tersebut lebih kuat sanadnya dari pada hadits Ibnu Khuzaimah ini.
Namun demikian makna dua hadits ini dapat dipadukan. Dengan dipahami sebagai berikut: “Jika hadits Ibnu Khuzaimah dinyatakan shahih maka maknanya bukan untuk tujuan mengharamk an memakai minyak wangi bagi kaum perempuan, tapi untuk menyatakan bahwa shalatnya perempuan tersebut tidak diterima [tidak memiliki pahala]. Hal ini sebagaiman a diketahui bahwa ada beberapa perbuatan makruh yang dapat menghilang kan pahala perbuatan [ibadah] yang sedang dilakukan, namun begitu perbuatan [makruh] tersebut bukan sebuah kemaksiata n. Contohnya seperti shalat tanpa adanya khusyu, shalat tetap sah [menggugur kan kewajiban] hanya saja tanpa pahala dan tidak diterima. Contoh lainnya seperti hadits Ibnu ‘Abbas yang diriwayatk an Abu Dawud dengan marfu’[66]: “Siapa yang mendengar orang memanggil [adzan] dan ia tidak memiliki alasan untuk mengikutin ya
[shalat jama’ah] maka tidak diterima shalatnya [sendiri] yang ia
lakukan”. Beberapa sahabat bertanya: “Apakah alasan dalam hal ini?”. Ia
menjawab: “Rasa takut atau karena sakit”. Hadits ini bukan berarti
orang yang tidak shalat berjama’ah
dengan tanpa alasan sebagai pelaku maksiat. Tetapi maknanya orang
tersebut telah berlaku perbuatan makruh. Demikian pula dengan hadits
Ibnu Khuzaimah di atas bukan dalam pengertian haram memakai wewangian bagi perempuan, tetapi dalam pengertian makruh.
Catatan lainnya; wewangian yang dimakruhka n di sini adalah wewangian yang semerbak baunya, sebab lafazh haditsnya menyatakan [وريحها تعصف], dan lafazh [تعصف] untuk bau yang menyengat, tidak digunakan mutlak/ umum bagi seluruh wewangian. Sebagaiman a hal ini telah dijelaskan oleh para ahli bahasa.
Adapun hadits yang berbunyi:
لا تمنعوا إماء الله من مساجد الله ولكن ليخرجن تفلات
(Janganlah kalian melarang para hamba Allah dari kaum perempuan untuk mendatangi masjid-mas jid, hanya saja hendaklah mereka keluar dalam keadaan tidak memakai wewangian). Hadits inipun dalam pengertian makruh tanzih bila perempuan tersebut memakai wewangian menuju masjid.
Pengakuan sebagain orang bahwa an-Nasa’i meriwayatk an:
فمرت بقوم فوجدوا ريحها ...
Dengan lafazh [فوجدوا]; (…hingga kaum laki-laki medapatkan wanginya…) adalah periwayata n yang tidak shahih. Riwayat yang shahih adalah dengan lafazh [ليجدوا]; (…dengan tujuan agar kaum laki-laki mendapatka n wanginya).
Simak apa yang diriwayatk an oleh Ibnu Abi Syaibah dari Muhammad ibn al-Munkadi r, berkata: “Suatu saat Asma’ didatangi ‘Aisyah, sementara Zubair (suami Asma’) tidak ada di rumah. Dan ketika Rasulullah masuk ia mendapati wewangian,
ia bersabda: “Tidak layak bagi seorang perempuan memakai wewangain di
saat suaminya tidak di rumah”. Hadits inipun bukan untuk menunjukan keharaman, karena bila untuk tujuan haram maka akan diterangka n langsung oleh nabi.
Ibnu Muflih al-Maqdisi al-Hanbali dalam karyanya al-Adab as-Syar’iy yah berkata: “Haram bagi seorang perempuan keluar rumah suaminya tanpa mendapatka n izin darinya, kecuali karena dlarurat atau karena kewajian syari’at…” . Pada akhir tulisan ia berkata: “…dan dimakruhka n bagi perempuan memakai wewangain untuk hadir ke masjid atau ke tempat lainnya”.
* * *
Al-Baihaqi dalam dalam Sunan-nya meriwayatk an dari Ibnu ‘Abbas bahwa di hari iedul fitri Rasulullah
keluar rumah, ia shalat dua raka’at, saat itu beliau bersama Bilal,
kemudian datang kaum perempuan dan nabi menyuruh mereka semua untuk
bersedekah , setelah itu kemudian kaum perempuan tersebut melepaskan apa yang mereka kenakan dari al-Khursh dan as-Sakhab. Al-Baihaqi berkata: “Hadits ini diriwayatk an al-Bukhari dalam kitab Shahih-nya dari Abi al-Walid, dan diriwayatk an Muslim dari Syu’bah”. As-Sakhab adalah sesuatu yang dikenakan dari wewangian. Al-Khursh adalah perhiasan- perhiasan dari emas dan perak. Dalam hadits ini terdapat kebolehan bagi kaum perempuan untuk memakai wewangaian dan berhias, di mana Rasulullah tidak melarang kaum perempuan tersebut untuk mengenakan nya.
__________ __________ __________ ____
[58]. Al-Ihsan Bi Tartib Shahih Ibn Hibban (6/301)
[59]. Al-Mustadr ak: Kitab at-Tafsir (2/396)
[60]. Sunan an-Nasa'i: Kitab az-Zinah
[61]. As-Sunan al-Kubra (3/246)
[62]. Sunan Abi Dawud: Kitab at-Tarajju l: Bab tentang keluarnya perempuan dengan memakai minyak wangi.
[63]. Jami' at-Tirmidz i: Kitab al-Adab: Bab tentang makruhnya seorang perempuan keluar dengan memakai minyak wangi.
[64]. Sunan Abi Dawud: Kitab al-Manasik.
[65]. Matan az-Zubad (h. 10)
[66]. Sunan Abi Dawud: Kitab as-Shalat. Lihat pula al-Mustadr ak (1/246) dan as-Sunan al-Kubra (3/75)
SUMBER EBOOK MASA-IL DINIYYAH
@ Kholil Abou Fateh
Kompilasi ebook oleh: M. Luqman Firmansyah
Facebook Pages AQIDAH AHLUSSUNNA H : ALLAH ADA TANPA TEMPAT
Blog: allahadata npatempat. wordpress. com
HUKUM MEMAKAI MINYAK WANGI DAN BERHIAS UNTUK PEREMPUAN
Ketahuilah
Ibnu Hibban[58]
أيما امرأة استعطرت فمرت على قوم ليجدوا ريحها فهي زانية
(Perempuan
At-Tirmidz
كل عين زانية، والمرأة إذا استعطرت فمرت بالمجلس فهي كذا وكذا
(Setiap [kebanyaka
Hadits terakhir di atas dalam pengertian
Hadits pertama di atas diriwayatk
وفاعل المكروه لم يعذب # بل إ ن يكف لامتثال يثب
(Seorang pelaku perbuatan makruh tidak disiksa, tetapi bila ia tidak melakukan perbuatan tersebut karena tujuan melaksanak
Sebagaiman
Dengan demikian, orang yang mengharamk
Adapun hadits yang diriwayatk
Dengan demikian hadits ini tidak dapat dijadikan sandaran hukum. Yang menjadi sandaran hukum dalam hal ini adalah hadits ‘Aisyah sebelumnya
Namun demikian makna dua hadits ini dapat dipadukan.
Catatan lainnya; wewangian yang dimakruhka
Adapun hadits yang berbunyi:
لا تمنعوا إماء الله من مساجد الله ولكن ليخرجن تفلات
(Janganlah
فمرت بقوم فوجدوا ريحها ...
Dengan lafazh [فوجدوا]; (…hingga kaum laki-laki medapatkan
* * *
Al-Baihaqi
__________
[58].
[59].
[60].
[61].
[62].
[63].
[64].
[65].
[66].
SUMBER EBOOK MASA-IL DINIYYAH
@ Kholil Abou Fateh
Kompilasi ebook oleh: M. Luqman Firmansyah
Facebook Pages AQIDAH AHLUSSUNNA
Blog: allahadata
Comments