Jakarta, NU Online
Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj sangat getol menyuarakan pandangan bahwa agama (keislaman) dan nasionalisme harus disandingkan. Pandangan tersebut sangat penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sehingga ia berhak menerima penghargaan sebagai “Tokoh Perubahan 2012”.
Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj sangat getol menyuarakan pandangan bahwa agama (keislaman) dan nasionalisme harus disandingkan. Pandangan tersebut sangat penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sehingga ia berhak menerima penghargaan sebagai “Tokoh Perubahan 2012”.
Itulah penilan harian Republika kepada kiai yang akrab disapa Kang Said tersebut. Pernyataan itu dikemukakan panitia lewat pembawa acara Maudy Koesnaedi pada resepsi penganugerahan yang dikemas dalam "20 Tahun Republika", di gedung Jakarta Teater, Jakarta, Selasa malam (30/4).
Kang Said, sambung Maudy, rajin membicarakan tema tersebut di forum pesantren maupun umum. Dengan demikian, ia ikut memberikan sumbangan dalam mendampingkan agama dan nasionalisme. Karena, Indonesia dibentuk sebagai negara yang dijiwai agama dan nasionalisme.
Dalam pidato berlangsung 8 menit, Kang Said mengatakan, bahwa keislaman dan nasionalisme itu bisa disandingkan dalam konteks keindonesiaan.
Ia kemudian mengajak seluruh bangsa Indonesia untuk menghargai dan menjunjung tinggi kebhinekaan, mulai agama, suku bangsa dan sebagainya, “Perbedaan merupakan anugerah Allah untuk kita,” katanya.
Pria kelahiran Cirebon tahun 1953 tersebut berharap, perbedaan bisa menyatukan bangsa Indonesia. Karena perbedaan bukan hanya menyatukan, tapi memudahkan terjadinya perubahan.
Menurut Kang Said, pandangan keislaman yang demikian, karena memang ajaran agama tersebut adalah pembawa rahmat, peradaban, budaya, dan moral.
Tapi, sambungnya, dalam suasana formalisme agama menjadi “candu” pikiran sekarang ini, memahami Islam sebagai agama kemanusiaan, bukanlah mudah. Kadang malah dianggap kesesatan, “Dalam suasana dimana formalisme jadi candu pikiran, agama lebih gampang dianggap sebagai doktrin yang beku dan instan,” katanya.
Kemudian ia menukil ayat Al-Quran Surat Al-Anbiya: 107, “Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.”
Pria kelahiran Cirebon tahun 1953 tersebut berharap, perbedaan bisa menyatukan bangsa Indonesia. Karena perbedaan bukan hanya menyatukan, tapi memudahkan terjadinya perubahan.
Menurut Kang Said, pandangan keislaman yang demikian, karena memang ajaran agama tersebut adalah pembawa rahmat, peradaban, budaya, dan moral.
Tapi, sambungnya, dalam suasana formalisme agama menjadi “candu” pikiran sekarang ini, memahami Islam sebagai agama kemanusiaan, bukanlah mudah. Kadang malah dianggap kesesatan, “Dalam suasana dimana formalisme jadi candu pikiran, agama lebih gampang dianggap sebagai doktrin yang beku dan instan,” katanya.
Kemudian ia menukil ayat Al-Quran Surat Al-Anbiya: 107, “Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.”
Selain Kang Said, penerima anugerah tersebut adalah Ketua MPR RI Taufik Kiemas dan Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Djoko Suyanto.
Penulis: Abdullah Alawi
Comments